Kamis, 03 Mei 2012

Dilarang Tidur pada Petang Hari; Aeng Panas # 1

Oleh Haukil

Ingin sekali kuceritakan padamu, tentang sebuah desa kecil di pedalaman negeri. Alamnya masih perawan, asri, pohon-pohonnya tumbuh di sana-sini, dedaunan hijaunya rimbun dan menyejukkan mata, belum lagi kicauan burung yang terdengar merdu setiap pagi. Semua itu tak lepas dari tanahnya yang subur. Masyarakatnya pun ramah, lembut, sosialis, dan sarat budaya ketimuran. Sungguh desa yang ramah, desa impian!

Dari pagi sampai malam, desa itu tidaklah sepi, namun tida pula ramai seramai kota-kota metropolitan. Jika tidak dibilang berlebihan, keramaian manusia di esa tersebut masih kalah dari ramainya desir angin yang menggerakkan dedaunan, riak air dan kicauan burung-burungnya yang beraneka macam. Tak ada bahasa yang pas untuk menggambarkan keasrian dan ketenangan yang ditawarkan desa tersebut.

Di kala pagi, selain kicauan burung, ada beberapa hal yang mewarnai kehidupan desa. Ada saup-sayup anak mengaji lewat pengeras suara, orang laki-laki yang bersiap berangkat ke sawah, kaum ibu yang sibuk dengan memasak di dapur, dan anak-anak yang tertawa ria segera menuju ke sekolah. Pemandangan pagi ini hampir monoton setiap hari.

Siang hari adalah waktu di mana kecapaian membebani tubuh. Orang-orang yang bekrja di sawah-sawah sejenak beristirahat, menunggu matahari condong ke barat dan menebar sinar yang tak begitu menyengat. Waktu seperti ini biasanya digunakan untuk shalat, makan dan mandi agar segar menghadapi petang hari. Anak-anak sekolahpun pulang, menanggalkan baju, makan, mandi, dan menyempatkan bermain hingga petang hari. Namun ada pula mereka yang tidur atau nonton televisi bagi yang punya.

Menjelang petang atau magrib, anak-anak itu berkemas untuk segera mengaji kitab suci di langgar pada seorang kiai. Pada waktu inilah keadaan desa sejdnak tenang hingga isya’ menyambut. Orang-orang yang bekerja di sawah semuanya pulang, berdiam dirumah dan menunggu isya’. Konon, waktu antara magrib dan isya’ adalah waktu khusuk menghadap Sang Pencipta. Tak boleh ada keramaian, selain kumandang al-Quran. Selain itu, ada larangan kuat untuk tidak tidur pada petang hari, sebab hal itu akan mengundang penyakit. Masyarakat desa ini sangat memegang teguh petuah-petuah nenek moyang, secara turun-temurun. Mengingkarinya diyakini sebagai mengundang apes atau kualat.

Di waktu isya’, keramain mulai sedikit meninggi. Tapi hanya sampai di situ, tidak lebih. Sebab, di desa itu, waktu seperti ini menjadi pengantar tidur. Biasanya diisi dengan makan malam, nonton, dan langsung menuju kasur. Perlu kamu tahu, bahwa acara sarapan pagi, makan siang dan malam, sungguh tidak lumrah di desa ini. Semuanya mengalir bagaikan air, bisa dibilang tak teratur dalam urusan makan ini. Semuanya fleksibel, tidak serumit di kota-kota besar.

Jam tidur masyarakat rupanya begitu cepat, yakni antara jam 8 hingga jam 9, dan jam 10 sudah sangat sepi, sepi sekali. Hanya burung hantu yang berani angkat nyali, termasuk pula jangkrik meski malu-malu. Waktu malam adalah waktu yang kurang bagus dan tampak memberikan nuansa kengerian bagi sebagian masyarakat desa. Mitos atau cerita tentang genderuwo, pocong, sundel bolong, masih sangat segar terekam di benak setiap warga. Lebih-lebih anak-anak. Sebab, mereka, sedari awal, memang selalu ditakut-takui dengan genderuwo itu. Sehingga meski udah berada di usia yang dewasa, tidak sedikit mereka yang masih takut dengan mitos genderuwo itu.

Banyak tempat-tempat yang disakralkan, seperti pohon besar, setiap jalan perempatan, kuburan, batu hingga sungai-sungai besar. Semua itu diyakini memiliki kekauatan ghaib yang bisa membawa keberuntungan dan bisa pula bencana.

Pemandangan-pemandangan di atas tentu berbeda jauh dengan apa yang ada di kota besar. Yang paling berpengaruh dalam hal ini tentulah kadar ilmu pengetahuan masyarakatnya. Jika di kota, masyarakat rata-rata telah mengenyam pendidikan dengan baik dan berpikir rasional, sementara di desa adalah sebaliknya. Keasrian alam desa ini rupanya, sama persis dengan keasrian pemikiran masyarakatnya. Jika alam tak tersentuh dengan proyek-proyek modern, maka pemikiran masyarakatnya juga tak tersentuh ilmu pengetahun secara memadai.

Saya sebenarnya ingin bercerita lebih banyak, tapi lain kali kita sambung lagi. Pasti saya akan bercerita kembali, masih tentang desa ini. Tapi sampai di sini, sudah mengertikah Kamu, desa mana yang saya maksud? Mudah-mudahan kamu mengerti. Memang banyak desa yang seperti itu, tapi saya yakin kita pasti berada dalam satu persepsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar