Oleh Haukil
Ingin sekali kuceritakan padamu, tentang
sebuah desa kecil di pedalaman negeri. Alamnya masih perawan, asri,
pohon-pohonnya tumbuh di sana-sini, dedaunan hijaunya rimbun dan
menyejukkan mata, belum lagi kicauan burung yang terdengar merdu setiap
pagi. Semua itu tak lepas dari tanahnya yang subur. Masyarakatnya pun
ramah, lembut, sosialis, dan sarat budaya ketimuran. Sungguh desa yang
ramah, desa impian!
Dari pagi sampai malam, desa itu
tidaklah sepi, namun tida pula ramai seramai kota-kota metropolitan.
Jika tidak dibilang berlebihan, keramaian manusia di esa tersebut masih
kalah dari ramainya desir angin yang menggerakkan dedaunan, riak air dan
kicauan burung-burungnya yang beraneka macam. Tak ada bahasa yang pas
untuk menggambarkan keasrian dan ketenangan yang ditawarkan desa
tersebut.
Di kala pagi, selain kicauan
burung, ada beberapa hal yang mewarnai kehidupan desa. Ada saup-sayup
anak mengaji lewat pengeras suara, orang laki-laki yang bersiap
berangkat ke sawah, kaum ibu yang sibuk dengan memasak di dapur, dan
anak-anak yang tertawa ria segera menuju ke sekolah. Pemandangan pagi
ini hampir monoton setiap hari.
Siang hari adalah waktu
di mana kecapaian membebani tubuh. Orang-orang yang bekrja di
sawah-sawah sejenak beristirahat, menunggu matahari condong ke barat dan
menebar sinar yang tak begitu menyengat. Waktu seperti ini biasanya
digunakan untuk shalat, makan dan mandi agar segar menghadapi petang
hari. Anak-anak sekolahpun pulang, menanggalkan baju, makan, mandi, dan
menyempatkan bermain hingga petang hari. Namun ada pula mereka yang
tidur atau nonton televisi bagi yang punya.
Menjelang
petang atau magrib, anak-anak itu berkemas untuk segera mengaji kitab
suci di langgar pada seorang kiai. Pada waktu inilah keadaan desa
sejdnak tenang hingga isya’ menyambut. Orang-orang yang bekerja di sawah
semuanya pulang, berdiam dirumah dan menunggu isya’. Konon, waktu
antara magrib dan isya’ adalah waktu khusuk menghadap Sang Pencipta. Tak
boleh ada keramaian, selain kumandang al-Quran. Selain itu, ada
larangan kuat untuk tidak tidur pada petang hari, sebab hal itu akan
mengundang penyakit. Masyarakat desa ini sangat memegang teguh
petuah-petuah nenek moyang, secara turun-temurun. Mengingkarinya
diyakini sebagai mengundang apes atau kualat.
Di waktu
isya’, keramain mulai sedikit meninggi. Tapi hanya sampai di situ, tidak
lebih. Sebab, di desa itu, waktu seperti ini menjadi pengantar tidur.
Biasanya diisi dengan makan malam, nonton, dan langsung menuju kasur.
Perlu kamu tahu, bahwa acara sarapan pagi, makan siang dan malam,
sungguh tidak lumrah di desa ini. Semuanya mengalir bagaikan air, bisa
dibilang tak teratur dalam urusan makan ini. Semuanya fleksibel, tidak
serumit di kota-kota besar.
Jam tidur masyarakat
rupanya begitu cepat, yakni antara jam 8 hingga jam 9, dan jam 10 sudah
sangat sepi, sepi sekali. Hanya burung hantu yang berani angkat nyali,
termasuk pula jangkrik meski malu-malu. Waktu malam adalah waktu yang
kurang bagus dan tampak memberikan nuansa kengerian bagi sebagian
masyarakat desa. Mitos atau cerita tentang genderuwo, pocong, sundel
bolong, masih sangat segar terekam di benak setiap warga. Lebih-lebih
anak-anak. Sebab, mereka, sedari awal, memang selalu ditakut-takui
dengan genderuwo itu. Sehingga meski udah berada di usia yang dewasa,
tidak sedikit mereka yang masih takut dengan mitos genderuwo itu.
Banyak
tempat-tempat yang disakralkan, seperti pohon besar, setiap jalan
perempatan, kuburan, batu hingga sungai-sungai besar. Semua itu diyakini
memiliki kekauatan ghaib yang bisa membawa keberuntungan dan bisa pula
bencana.
Pemandangan-pemandangan di atas tentu berbeda
jauh dengan apa yang ada di kota besar. Yang paling berpengaruh dalam
hal ini tentulah kadar ilmu pengetahuan masyarakatnya. Jika di kota,
masyarakat rata-rata telah mengenyam pendidikan dengan baik dan berpikir
rasional, sementara di desa adalah sebaliknya. Keasrian alam desa ini
rupanya, sama persis dengan keasrian pemikiran masyarakatnya. Jika alam
tak tersentuh dengan proyek-proyek modern, maka pemikiran masyarakatnya
juga tak tersentuh ilmu pengetahun secara memadai.
Saya
sebenarnya ingin bercerita lebih banyak, tapi lain kali kita sambung
lagi. Pasti saya akan bercerita kembali, masih tentang desa ini. Tapi
sampai di sini, sudah mengertikah Kamu, desa mana yang saya maksud?
Mudah-mudahan kamu mengerti. Memang banyak desa yang seperti itu, tapi
saya yakin kita pasti berada dalam satu persepsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar