Rabu, 16 Mei 2012

Tentangnya

Cerpen Moh. Shadiq
 
Dulu, dua tahun sebelumnya, sebelum aku mengenal dia, aku masih belum mengenal apa itu agama Islam, aku memang ateis, sebab ku tak tau mana yang benar agama yang sesungguhnya, semua orang membela gamanya sendiri, orang Kristen membela agama Kristen, orang Budha membela agama Budha, orang Islam begitu juga. Aku tak tau mana yang akan menjadi agamaku.

Namun semenjak aku mengenal Ardiva, seorang wanita shalehah yang selalu mengenakan kerudung. Aku baru mengetahui agama yang sesungguhnya. Aku mengenalnya lantaran aku menabraknya di pinggir jalan yang aku tumpangi.

Ironis memang, aku mengenalnya tanpa sengaja namun ia menjadi wanita yang istimewa dalam hidupku, meskipun menurut orang tidak istimewa paling tidak dia telah banyak mengajariku tntang agama Islam.

Sabtu, 05 Mei 2012

Sajak-Sajak Miftah A

Titik Terang di Balik Suram
To: Yasep Hardoyo

Mengingatmu adalah menanam benih pohan
Mengangkat tangkai dari akarnya

Masih ku ingat waktu dulu
Waktu kau mengajakku ke tanah suram
Menyuruhku menggali bentangan
Memmusnahkan yang terlarang
Untuk kau taburkan pada hatiku dalam-dalam
Aku turutio walau tidak mengerti

Kadang, kau ajariku sanda hati
Melukis arahku dengan pantis yang kritis
                                    Tapi bikanateis

Kini aku baru mengerti dengan arahmu yang harus di findari
Langkah suram,
Untuk  kau jadikan titik terang
Demi jiwa ternentang di tengah karang
                                    sungguh indah langkah surammu
                                    walau jejakmu mati di garis sebrang

Kini aku erindukan luka yang kau ukir dari derita
untuk  memusnahkan kata dari fakta
dan, kini aku kalang kabutan mendirikan batang yang selalu kau tanam di hatiku kemarin silam
lantaran aku mati di waktu suram


Hikayat Pagi

Terlihat jelas
Di tengah-tengah kenakalan aawan
Seperti cemara tumbuh menyemerbak
Sedang pengikmat tanah
Bercengkrama menghias waktu


12-09-2011
Peminjam Waktu

Tiba-tiba mataku tertangkap anak jalanan
Yang hidup pada lelapnya waktu
Meinjam waktu,
Manghunus pedang pada pintu-pintu
Lalu menyetubuhi yubuh sendiri

“Oh… surga dapat kucipta”
Lalu,
“Ternyata mimpi noda dalam do’a”
Sia-sialah  dia ameminjam waaktu untuk berdo’a


20-11-2011
Di Kediamanmu

Di kediamanmu
Bau harum terpendam pada jemari
Menguaplah…

Lalu jiwa dan temanku terl;entang
Sebab kebohongan menindas kebenaran

Bila esok harimmu tumbuh
Do’alah yang melihatku lagi
Sebab kata senyap dibumikan

Di kediamanmu
Kuncup bunga menusuk bola mata
Manggelitik
Risauku di atas kursi
Mau maupun mundur
Aku mati

Aku akui
Harum daunnya pun melambai
Tapi  di manakah  waktu kau simpan

--Ponteh, Pamekasan, 15 Maret 2012


Miftah A., lahir di Sumenep, Madura, pada 12 Agustus 1994. Menulis cerpen dan puisi, aktif di komnitas ABAS (Atap Bahasa Sastra); Sanggar PADI L-S; KAJI (Komunitas Jalanan), dan tinggal di PP. An-nuqayah Lubangsa Selatan. E-mail: miftah.daenk@yahoo.com




Jumat, 04 Mei 2012

Sajak-Sajak Badrul Estoe

1/
Gerimis Malam

Malam ini, biarkan mendung meremah
Mengeluarkan bayang-bayang di jendela rumah
Di atasnya, bunga bintang berkembang
Berkedip sinar yang meremang-remang
Kunang-kunang terbang, menghilang
Hanya tinggal sebidang lumbung ilalang
Di satu sisi, ada yang turun malam-malam
Bersama angin lembut sepoi
Di atas alam tenang mengambang  awan kelam
Membentuk gumpalan
Seperti sarang laba-laba berlubang
Di bumbuhi air jatuh di lumbung ilalang
 
                                            My house, 10/April/2012

2/
Pusar Muara

Di antara pohon alga
Tersirat muara semu dahaga
Kodok melompat, plung!
Kodok-berjatuhan

                                            19/April/2012

3/
Menjemput Bidadari

Bila waktu telah tiba-tekad dalam jiwa menjadi bunga
sementara penantian berlalu tak sia-sia
saat pencarian adalah perjalanan cinta
segera kujemput bidadari di bandara

Bila waktu telah tiba-teguh dalam hati menjadi permata
perjalanan tak berarti sia-sia
penantian adalah pencarian cinta
lekas kujemput bidadari yang terluka
untuk diobati dengan rindu mantra

Bidadari telah menyetuh hati
teguhkan nurani, pasrahkan raga
bidadari telah menyapa jiwa
memberikan makna, menyanyikan mantra

                                              Simpati Annuqayah Lubsel, 02/Mei/2012

4/
Cabe Rawit

Kau adalah pembuat panas bagi mulut-mulut yang menganga
dari biru kau mengubah diri menjadi merah
kadang kau menjadi pedas bila marah
tapi, kau juga cocok untuk apa saja dan siapa saja

Kau adalah pembuat candu bagi mulut-mulut yang menganga
orang-orang memanggil-manggil air sebagai penawar rasa panas
tapi, kau malah tambah panas…..pedas
air liur yang segar meleleh dari hidungnya
tak tahan akan rasa yang asa

                                                Gubuk tua (B/02), 04/Mei/2012

5/
Bola Mata

Di bola matamu ku lihat sebilah rindu
seperti perangai yang memekik di keheningan malam
bola mata yang hitam disertai garis merah padam
terlukis sukmaku yang malang melintang

                                                Mushkub, 01/APRIL/2012

___________

Badrul Estoe lahir di bumi Sumekar 05/02/1995, siswa SMA Annuqayah  XI IPA I . Ia aktif menulis puisi . Berproses di komunitas manGsen puisi. Sekarang berdomisili di Ponpes Annuqayah Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk. E-mail: edroel_aesen@yahoo.co.id

Kamis, 03 Mei 2012

Dilarang Tidur pada Petang Hari; Aeng Panas # 1

Oleh Haukil

Ingin sekali kuceritakan padamu, tentang sebuah desa kecil di pedalaman negeri. Alamnya masih perawan, asri, pohon-pohonnya tumbuh di sana-sini, dedaunan hijaunya rimbun dan menyejukkan mata, belum lagi kicauan burung yang terdengar merdu setiap pagi. Semua itu tak lepas dari tanahnya yang subur. Masyarakatnya pun ramah, lembut, sosialis, dan sarat budaya ketimuran. Sungguh desa yang ramah, desa impian!

Dari pagi sampai malam, desa itu tidaklah sepi, namun tida pula ramai seramai kota-kota metropolitan. Jika tidak dibilang berlebihan, keramaian manusia di esa tersebut masih kalah dari ramainya desir angin yang menggerakkan dedaunan, riak air dan kicauan burung-burungnya yang beraneka macam. Tak ada bahasa yang pas untuk menggambarkan keasrian dan ketenangan yang ditawarkan desa tersebut.

Sewujud Kecintaan Ilahi

Oleh Badrussyamsi

Tak mungkin hati beranjak
Dari kesucian sewujud cinta
Hadir bagai butiran salju
Melunakkan karang-karang batin yang terjal
Meremukkan bebatuan dari dinding-dinding kesedihan
Menyejukkan bara hati yang terbakar
Tiada lena bagai keindahan semu

Hasrat hati yang menggapai
Memohon segera dilepas dari segala
Ujung-ujung yang tajam yang menghantam ke dalam relung hati
Ku berjerit karena terjepit duka
Dan derita yang tiada ujungnya

Kepada Insan yang Sholehah

Oleh Badrussyamsi

Bujuklah tuhanmu dengan tatapan sucimu
Rindu basahi kekeringan
Nan menghimpit sukma insan-insan berdaya
Ku berjerit tanpa suara
Kepadamu, kepadanya

Dengarlah.......................?!
Rintihan keluh
Kerikil menyumbul ke langit sunyi
Membaur melebur
Jasad-jasad terkapar pasrah

Dan dengarlah...............?!
Nyayian bisik mereka
Tentang kayang tak mau tau
Kau harus sabar. Dan tabah
Dalam penantian yang kau damba
Jangan kau putus harapan
Teruslah berdoa dan berdoa
Itulah insan yang sholehah

Mau Tahu, Warna-warni Kehidupan?

Kata bijak: barang siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan menuai sukses; barang siapa yang bersabar, ia akan beruntung. Manisnya hidup akan terasa setelah berpayah-payah.


Dunia ini memang beraneka warna. Tak ada yang bisa membuatnya seragam. Kebaikan selalu memiliki lawan, yaitu kejelekan. Begitu seterusnya. Inilah yang disebut dengan keseimbangan. Gambar di atas, sepertinya ingin menunjukkan perlunya keseombangan itu. Tidak selamanya orang kaya tidak butuh pada yang miskin, begitu pula tak selamanya orang alim, santun, tidak butuh pada mereka yang dinilai urakan. Persis seperti sinetron Pesantren Rock and Roll di SCTV beberapa waktu lalu. Mencari ilmu bisa pada siapa saja, bahkan pada apa saja. Yang penting bukanlah kulitnya, melainkan substansinya. Meski ia seorang urakan, tapi ia berilmu dan tulus, mengapa kita tidak belajar pada mereka?

Warna kehidupan macam apa lagi ini? Seorang anak desa yang dengan gigih berjuang membantu orang tuanya, demi kelanggengannya mengecap bangku sekolah. Sungguh ia terlalu kecil untuk menggendong timba itu, ditambah lagi dengan memikul daun siwalan kering itu. Tapi, sungguh ia luar biasa. Tubuhnya yang kecil tak menyurutkan semangatnya, bahkan ia menyembunyikan seluruh kepedihan hdidupnya. Langkahnya tetap mantap, walau tampa alas kaki. Senyumnya yang meneduhkan, menyiratkan masa depannya yang gemilang. Selamat berjuang, dan semoga cita-citamu terwujud, nak...!

  
Ini dia satu di antara kisah-kisah orang yang luar biasa. Kebanyakan orang berpikir tentang nasibnya "mau jadi apa besok". Mereka tak pernah berpikir bagaimana mejadi pribadi yang bisa memberi manfaat pada orang lain. Walhasil, mereka-mereka itu pada akhirnya tak dapat apa-apa kecuali kebingungan yang sangat. Lihatlah lelaki yang satu itu. Dengan tekadnya yang luar biasa, ia menekuni proses panjang yang sangat tidak mudah. Berjibaku dengan lika-liku kehidupan yang bisa saja menjad alasan untuk mundur. Tapi, ia tetap maju, dan mantap dengan masa depannya. Ini prinsipnya: memberikan manfaat pada orang lain. Setiap hari harus keluar masuk rumah warga, dan hal semakin mematangkan jiwanya sebagai abdi negara. Kita harus banyak belajar dari orang-orang yang seperti ini, berproses dari nol, menuju masa yang dijanjikan Tuhan bagi hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Ayo, tarik pak penghulu...! Sah?

Selasa, 01 Mei 2012

Muhidin M. Dahlan: Saya adalah Nabi Kegelapan

Berani! Itulah kesan yang tertangkap pada sosok anak muda asal Sulawesi ini. Muhidin M. Dahlan, novelis yang lahir tahun 1978, ini telah mewarnai dunia sastra Indonesia dengan torehan pena yang tajam. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ini memang telah gagal dalam menyelesaikan studinya di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga. Namun, ia yang akrab dipanggil Gus Muh ini ternyata mampu berbicara melalui karya sastra.
Ia bahkan telah menggoresi hati sejumlah kalangan dengan beragam kesan. Betapa tidak? Penulis tak kurang dari tujuh novel ini sempat mengguncang dengan novel-novelnya seperti Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003), Adam Hawa (2005), dan Kabar Buruk dari Langit (2005). Muhidin seperti membenarkan sinyalemen belakangan ini, bahwa telah muncul kembali cara-cara pemahaman dan penerjemahan nilai-nilai agama secara sempit atau sektarian.

Nur Mursidi: Mencintai Buku Seperti Kekasih

Dimuat di www.wasathon.com, Senin, 26 Maret 2012


Tak peduli berapa banyak buku yang Anda baca dan diresensi? Tokoh kita ini pasti melakukannya lebih banyak lagi. Kira-kira begitulah kiprah Nur Mursidi, blogger buku, penulis cerpen, peresensi kawakan sekaligus penulis opini di berbagai media massa

Lelaki kelahiran Lasem, Rembang ini adalah alumnus jurusan Akidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sekarang, masih bekerja sebagai penulis dan berkiprah pada sebuah media yang terbit di Jakarta. Sudah sedikit bertaubat dari Facebook, tapi masih bisa ditemui di Twiternya @n_mursidi atau di blognya Etalase Buku.

Untuk menambah khazah tentang perbukuan, yang kita tahu lewat buku yang kita baca itulah kita bisa mendapat pencerahan untuk kehidupan yang lebih baik lagi setelahnya, maka bincang-bincang dengan tokoh ini dirasa perlu. Berikut bincang ringannya dengan salah satu tim Wasathon.com:

Awal

sebagai awal saja,,,, mencoba-coba. ayo siapa yang mau nulis cerpen??